Tuesday, September 24, 2013

Kecanggihan Teknologi Bisa Jadi Penyebab Kemalasan Kita Sebagai Muslim

Berikut ini adalah kisah yang diceritakan oleh Mufti Hussain Kamani, seorang syekh terkenal asal Amerika. Semoga kita dapat mengambil pelajaran dari kisah ini.

Kita semua punya handphone dalam saku, dan kita semua dapat mengakses Al-Qur’an dengan mudah. Tapi masalahnya ketika hidup menjadi serba mudah, maka timbullah sifat malas dalam diri kita. Sebaliknya ketika hidup serba susah dan kita harus berusaha keras untuk meraih sesuatu, barulah timbul semangat dalam diri kita.

Aku ingin menceritakan sebuah kisah ketika aku berhaji beberapa tahun yang lalu. Pada saat itu aku berada di Madinah, tepatnya di makam Nabi Muhammad S.A.W. Saat itu aku sedang menunggu shalat dengan membaca Al-Qur’an. Aku telah menghafalkan Al-Qur’an, jadi aku membacanya dari hafalan. Dan di sebelahku duduk seorang pria. 

Orang ini melihatku dan berkata “Assalammu ‘alaikum”, jadi aku menjawab “Wa ‘alaikumsalam.” 

Dia berkata “Darimana asalmu?” Aku berkata “Dari Amerika.” 

Dia berkata “Kau membaca Al-Qur’an dari hafalanmu?” Aku berkata “Alhamdulillah, aku telah menghafalkan Al-Qur’an.” Dia melihatku dengan pandangan benar-benar terkejut. 

Dia berkata “Seorang muslim dari Amerika? Ternyata ada umat Muslim di Amerika?” 

“Ya, sebenarnya ada banyak umat Muslim disana. Bahkan kami punya institusi-institusi Muslim di sana.”

Jadi kami berbincang-bincang dan aku bertanya padanya, “Darimana asalmu?” Dia berkata “Aku dari Ortania di Afrika.” 

“Wow, kau dari Ortania. Apakah kau telah hafal Al-Qur’an?” Dia memandangku dengan terkejut lagi sambil berkata “Apa?” 

Aku berkata “Apakah kau telah hafal Al-Qur’an?” Dia berkata “Setiap orang yang berhubungan darah denganku telah hafal Al-Qur’an.” 

“Wow, itu keren! Semua orang hafal Al-Qur’an!” 

“Ibuku, ayahku, saudariku, pamanku, bibiku, istriku, anak-anakku, sepupuku, semua orang dalam keluargaku telah hafal Al-Qur’an.” 

“Wow!” 

Tapi kemudian dia menatapku dan berkata “Aku ingin memberitahumu sebuah rahasia kecil.” 

“Ya?” 

“Kami tidak menghafalkan Al-Qur’an dengan mudah seperti kalian.” 

“Oh begitu? Katakan apa tantangan besarmu, dan aku juga kan menunjukkan tantanganku.”

“Ketika kami datang ke madrasah di pagi hari, para guru mempunyai papan tulis hitam yang besar dan sebatang kapur. Ketika kau baru mengambil program Hifz di Madrasah kami, maka para guru akan memberikan kepadamu sebuah papan tulis kecil dan sebuah kapur. Ketika kau sampai ke sekolah, para guru akan menuliskan ayat pada hari itu di papan tulis, dan kau harus menuliskannya pada papan tulis kecilmu. Kemudian kau punya kesempatan untuk melihat ayat itu selama 24 jam. Dan keesokan paginya, mereka menghapusnya untuk menuliskan ayat lainnya, dan kau takkan pernah melihat ayat itu lagi. Kami tidak mampu membeli hardcopy Al-Qur’an, jadi beginilah cara kami menghafal.”

Aku berpikir “La ilaha ilallah. Orang-orang yang tidak punya hard copy Al-Qur’an malah lebih menghargainya, dan mereka yang punya Al-Qur’an di rumah malah membiarkannya berdebu. Kalau begini caranya, siapa yang benar-benar menghargai Al-Qur’an? Kita yang dapat mengakses Al-Qur'an dengan mudah atau mereka yang bahkan tak punya uang untuk membeli Al-Qur'an?”

No comments:

Post a Comment

Daftar Isi