Ketiak itu, fajar syawal menyingsing cerah di langit kota Madinah. Semua orang berjalan menuju lapangan untuk menunaikan shalat Id. Satu persatu kaki-kaki melangkah sambil menyeru asma Allah lewat takbir, hingga langit pun bersaksi, di hari itu segenap mata tak kuasa membendung air mata keharuan saat berlebaran....
Sementara itu, langkah sepasang kaki terhenti karena sesengukan gadis kecil di tepi jalan. “Gerangan apakah yang membuat engkau menangis, anakku?” Lembut suara itu menyapa menahan beberapa detik sesenggukan gadis itu.
Tak menoleh gadis kecil itu ke arah suara yang menyapanya, matanya masih menerawang tak menentu, seperti mencari sesosok yang amat ia rindukan kehadirannya di hari bahagia itu. Ternyata, ia menangis lantaran tak memiliki baju yang bagus untuk merayakan hari kemenangan itu.
“Ayahku mati syahid dalam sebuah peperangan bersama Rasulullah,” tutur gadis kecil itu menjawab pertanyaan pria di hadapannya tentang ayahnya. Seketika , pria itu mendekap gadis kecil itu. “Maukah engkau seandainya Aisyah menjadi ibumum Muhammad ayahmu, Fatimah bibimu, Ali sebagai pamanmu, dan Hasan serta Husain menjadi saudaramu?” Sadarlah gadis itu bahwa pria yang sejak tadi berdiri di hadapannya tak lain adalah Muhammad Rasulullah SAW.
Siapakah yang tak ingin beayahkan pria yang paling mulia dan beribu seorang ummul mu’minin?.
Begitulah manusia yang paling mulia dan agungitu membuat seorang gadis kecil yang bersedih di hari Raya kembali tersenyum. Barangkali itulah senyum terindah seorang anak yatim…..
Rasulullah membawa serta gadis kecil itu ke rumah beliau, kemudian beliau memberikan pakaian bagus, sehingga dia tampak tidak berbeda dengan Hasan dan Husain.
Rasulullah SAW mendahulukan kepentingan orang lain dari pada kepentingan pribadi dan keluarganya sendiri. Teladan seperti ini begitu melekat dalam benak orang-orang zaman dahulu. Karena itu, perlu kiranya kita mensuritauladani sunnah Rasulullah dalam kehidupan kita.
No comments:
Post a Comment