Muhammad bin Musa al-Qadhi berkata, " Pada suatu hari di tahun 286 H, saya menghadiri sidang Musa bin Ishaq al-Qadhi. Sidang atas kasus yang di ajukan oleh seorang tua yang menggugat menantunya karea ia ingkar janji (wan prestasi dalam bahasa hukum perdata (AH) senilai 500 dinar- setara Rp. 1 Milyar 200 juta lebih! yang ia janjikan.
Hakim mengatakan, " Datangkanlah para saksimu". Orang tua itu mengatakan, saya telah menghadirkan mereka dalam sidang ini.' Sang hakim lalu minta kepada sebagian saksi untuk melihat kepada sang isteri, lalu saksi berdiri, dan wanita (sang isteri) juga berdiri.
Mengetahui hal itu, suaminya berkata, "Apa yang hendak kalian lakukan?" Pengacaranya mengatakan, "Mereka akan melihat wajah isterimu untuk mengecek kebenarannya." Maka sang suami mengatakan , "saya bersaksi kepada hakim bahwa saya mengakui punya hutang mahar pada isteri saya asalkan dia tidak membuka wajahnya (Niqob, Cadar atau sejenis-AHSI) kepada orang lain.".
Sang isteri kemudian membalas, "saya juga bersaksi kepada hakim bahwa saya telah merelakan mahar saya dan memberikannya kepada suami saya dan dia telah lepas dari beban dunia dan akhirat," maka hakim berkomentar, "Sungguh, ini pantas dicatat dalam keindahan akhlak" ( Tarikh Bahghdad 13/53 oleh al-Khathib al-Baghdadi).
Dalam kisah ini terdapat faidah tentang kecemburuan suami terhadap isterinya, bagaimana ia tidak rela jika wajah isterinya dipandang oleh orang lain sekalpun dalam persaksian. Lantas mana kecemburuanmu wahai para suami dan pemilik anak puteri. (Di salin dari majalah Al-Furqon edisi Syawal 1433 H/2012 dengan sedikit perubahan dan editing dari Si).
Seorang suami harus memiliki rasa cemburu kepada istrinya yang dengan perasaan ini ia menjaga kehormatan istrinya. Ia tidak membiarkan istrinya bercampur baur dengan lelaki, ngobrol dan bercanda dengan sembarang laki-laki. Ia tidak membiarkan istrinya ke pasar sendirian atau hanya berduaan dengan sopir pribadinya.
Suami yang memiliki rasa cemburu kepada istrinya tentunya tidak akan memperhadapkan istrinya kepada perkara yang mengikis rasa malu dan dapat mengeluarkannya dari kemuliaan.
Sa’d bin ‘Ubadah pernah berkata mengungkapkan kecemburuannya terhadap istrinya: “Seandainya aku melihat seorang laki-laki bersama istriku niscaya aku akan memukul laki-laki itu dengan pedang bukan pada bagian sisinya (yang tumpul).”
Mendengar ucapan Sa’d yang sedemikian itu, tidaklah membuat Nabi shallallahu 'alayhiwasallam mencelanya. Bahkan beliau shallallahu 'alayhi wasallam bersabda:
“Apakah kalian merasa heran dengan cemburunya Sa’d? Sungguh aku lebih cemburu daripada Sa’d dan Allah lebih cemburu daripadaku.” (HR. Al-Bukhari dalam Kitab An-Nikah, Bab Al-Ghirah dan Muslim no. 3743)
No comments:
Post a Comment