Alkisah, suatu pagi di Madinah Rasulullah berjalan menyapa orang-orang yang ia temui dengan memberikan gelar kepada mereka. Rasullah saw mengucapkan salam terlebih dahulu dan terdengar oleh orang-orang sekitarnya. Bahkan, Abu Dzarr yang bersembunyi di balik pohon berharap dapat mengucapkan salam lebih dulu kepada Rasulullah, tak luput dari pengetahuan Rasulullah saw.
Tiba tiba seorang anak muda berlari ke arah Nabi. Brak! Ia menjatuhkan badannya ke arah Nabi. Dalam dekapan yang erat ia mencium janggut Nabi seakan tidak ingin berpisah dengan jasad yang mulia itu.
“Ya Rasul Allah, mintalah sesuatu dariku demi Dia yang mengutusmu, permintaanmu akan ku penuhi dengan setulus hati”
Pemuda itu ialah Thalhah, pemuda yang di dadanya berkecamuk kerinduan kepada Nabi. Rasullullah kemudian melepaskan pelukan Thalhah, dan dari sabdahnya yang merdu keluar perintah yang tak disangka:
“Kalau begitu, pergilah sekarang,... dan bunuh ayahmu untukku..”
Thalhah kemudian melepaskan pelukannnya dari Nabi, dan seketika beranjak dari hadapan Nabi untuk segera melaksanakan apa yang telah diperintahkan Nabi kepadanya. Niatnya sudah bulat, keinginan melaksanakan perintah Nabi ialah bukti cintanya kepada Rasulullah.
Begitu Thalhah bergerak, Nabi tersenyum dan kembali bersabda:
“Kemarilah Thalhah. Tidak pernah aku diutus untuk memutuskan silaturahim. Adapun sabdaku tadi sesungguhnya hanya menguji. Dan sungguh telah terbukti kecintaanmu yang sejati.”
Nabi memeluk Thalhah memuji kecintaannya. Thalhah pun bergegas undur diri. Nabi meneruskan langkahnya menyapa setiap umatnya dan dalam setiap sapanya ia mendoakan semua umat yang mencintainya.
Begitulah rindu Thalhah kepada Nabi. Thalhah tinggal di sebuah kampung yang berjarak tiga desa dari Madinah, namun ia selalu menyempatkan diri hadir di setiap majelis Rasulullah saw.
Hingga pada suatu hari, Thalhah jatuh sakit. Tubuhnya tak dapat ia gerakkan, wajahnya tak dapat berpaling ke kiri dan ke kanan. Dalam sakitnya, matanya nanar menatap langit. Kerinduannya kepada Nabi telah membuat rongga dadanya semakin sempit.
Waktu itu bada isya. Musim dingin menyelimuti Jazairah Arab. Seusai majelis sahabat Rasul merapatkan tempat. Dari kerumunan sahabatnya Rasul mencari Thalhah perindu sejati? Salah seorang sahabat menjawab “Ia terbaring sakit ya Rasulullah”.
Dengan cepat Nabi menjawab: “Bawa aku ke rumahnya!”
Udara dingin tak terperih oleh para sahabat Nabi, sedangkan Nabi bergegas menuju sahabat setianya. Wajah Nabi penuh duka menyaksikan sahabat setianya terbaring menutup mata. Nabi mencium kening Thalhah, mendoakannya dan memintah orang tuanya untuk tidak membangunkannya. Kepada kedua orang tua Thalhah, Nabi berkata: “Sungguh telah ku lihat Thalhah akan segera berpulang. Tangan kasih Tuhan akan segera memeluknya. Bila ia tersadar sebelum itu, kabarkanlah kepadaku. Aku ingin menghadiri jenazahnya. Aku ingin men-shalatinya.”
Setelah itu Rasul berniat kembali ke Madinah, namun malam yang begitu dingin dan gelap. Membuat Nabi dan para sahabatnya beristirahat di kampung Bani Salim, sebuah kampung yang tidak jauh dari rumah Thalhah dan tidak juga jauh dari Madinah.
Di rumah Thalhah, Thalhah terbangun dari tidurnya. Matanya berkaca-kaca ketika ia tahu bahwa Rasullullah kekasih hatinya datang melihatnya. Orang tuanya pun menyampaikan pesan agar seseorang menyampaikan hal ini kepada Nabi sesuai yang diamanatkan Nabi ketika Thalhah sadar. Thalhah berkata: “Kalau begitu pergilah sekarang. Panggillah Rasulullah untukku”
Begitu saudara Thalhah hendak meluncur, maka meluncur pula lah kata-kata Thalhah seperti perkataan Nabi yang terdahulu disampaikan kepadanya: “Saudaraku, kemarilah. Aku hanya bercanda. Tidak pernah aku memintah sesuatu yang dapat memberatkan Nabi. Malam begitu dingin. Aku tidak mau Nabi mendrita karenaku. Aku tidak mau Nabi bersusah payah menemuiku.”
Saudaranya membantahnya, “Tapi Nabi telah mengabarkan bahwa ajalmu akan segera datang.”
Thalhah menjawab dengan penuh kerinduan: “Bukankah ia akan datang pada setiap di antara kita? Sungguh aku ingin berjumpa dengan Penciptaku. Kekasih sejati kekasihku, Rasulullah saw. Rasul sudah menjengukku. Tiada kebahagiaan yang lebih berarti lagi.”
Saudaranya bertanya: “Bagaimana kami hendak berkata kepada Nabi, jika permintaanya tidak terpenuhi?”
“Sampaikan kepadanya, kehadiran beliau cermin kedermawanan. Anugerah untukku menjelang perpisahan. Janganlah juga engku mengundang Rasul bila telah datang padaku ketentuan.”
“Bagaimana dengan pesan Nabi? Beliau ingin menshalatkanmu dan menguburkanmu”
“Aku tahu. Namun, hatiku takkan sampai membiarkan Nabi menghadang malam. Perasaanku tak mengisinkan membangunkan Nabi dari peristirahatannya. Aku tak mau hawa dingin mengganggunya. Aku tak mau bahaya menghadangnya. Bila sudah datang waktuku sampaikan salam rinduku padanya. Mohonkan padanya permintaanku: Sampaikan ampunan Tuhan bagiku”
Malam itu menjelang sahur, diantar kecintaanya kepada sang Nabi, Thalhah akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya, “Ya Allah, Ya Rasulullah..”
Setelah itu, Thalhah kemudian dishalatkan oleh keluarganya dan dikebumikan malam itu juga. Sesuai pesan terakhirnya, tidak ada seorang pun yang memberitahukan hal ini kepada Rasulullah.
Menjelang subuh, Nabi yang bermalam di Bani Salim, berangkat menuju Madinah. Usai shalat berjamaah, Nabi bertanya kepada para sahabatnya: “Bagaimanakah gerangan kabar Thalhah, sahabat yang kurindukan?”
Ya Rasulullah, kami tahu engkau tahu sesuai kabar kangit yang sampai kepadamu. Tapi engkau hendak ajarkan kepada kami, makna sejati kesetiaan. Hakikat dari murninya kecintaan.
Mendengar Nabi bertanya, seorang kerabat Thalhah tampil ke muka “Ya Rasulullah, ia berpulang ke rahmat Allah”
“Mengapa aku tidak diberi tahu? Bukankah begitu pesanku padamu?” sahut Nabi menelisik.
“Ya Rasulullah, maafkan kami. Demikian itu adalah permintaannya. Thalhah bermohon agar kabarnya tidak sampai kepadamu. Maafkan kami ya Rasulullah. Semua karena kecintaan Thalhah kepadamu...”
Kerabat Thalhah menyampaikan pesan terakhir Thalhah kepada Rasulullah. Ia tidak mengkhawatirkan dirinya, tidak memikirkan keluarganya. Yang ia kenang hingga katup matanya ialah kecintaannya kepada Rasulullulah. Ia tidak ingin dirinya menjadi sebab Rasulullah bersusah payah.
Begitu usai pesan Thalhah disampaikan. Nabi mengajak sahabatnya ke pusara. Di sana, di hadapan tanah yang masih basah. Beliau bergumam dalam doa. Beliau berdiri diikuti para sahabat bersaf di belakangnya. Tangan Nabi terngadah ke langit dan berakata: “Duhai Tuhan pemilik segala sifat sempurna. Terimalah sahabatku dengan kerinduanMu. Biarkan ia tersenyum bahagia menjumpaiMu, dan Engkau tertawa menyambut kehadirannya. Terimalah ia dalam rinduku dan rinduMu”
No comments:
Post a Comment